Mangsa kekejaman zionis laknatullah!
Aku paparkan gambar-gambar mangsa pembunuhan kejam zionis terhadap rakyat Palestine bukan bertujuan tidak baik, tetapi sebagai satu cara bagi aku dan kita semua umat Islam semua dapat merasai penderitaan saudara kita yang sedang dizalimi.. Ia sangat-sangat memberi keinsafan terhadap diri aku.
Mutiara Kisah
Tipu daya kaum Yahudi terhadap larangan Allah SWT
Allah telah memuliakan Nabi Musa as. pada hari Sabtu, dan ia memerintahkan kepada kaumnya agar tidak bekerja pada hari itu dengan segala urusan keduniaan seperti jual-beli, perdagangan, berwasiat dan lain-lain.
Pada suatu negeri yang bernama Ailah, penduduknya adalah para nelayan penangkap ikan. Allah mengutus kepada mereka Nabi Daud as. membawa risalah dari Tuhan berupa larangan bagi para nelayan itu untuk menangkap ikan pada hari Sabtu, sedangkan pada hari-hari lain dibolehkan.
Maka Nabi Daud pun menyampaikan risalah Tuhan itu kepada penduduk Ailah, tetapi mereka menolaknya. Lalu Allah mencuba mereka dengan suatu cubaan iaitu dijadikan pada setiap hari Sabtu semua ikan berkumpul di laut mereka, sedangkan pada hari lainnya seekor ikan pun tidak mereka temui. Sehingga timbullah kesusahan yang panjang, dan Allah menimpakan kelaparan kepada mereka.
Akhirnya mereka berusaha untuk tetap menangkap ikan pada hari Sabtu. Mereka membuat benteng dan sungai-sungai itu ke dalam benteng-benteng pada hari Sabtu. Bila mereka melihat benteng itu telah penuh dengan ikan, maka mereka menutup muara sungai tersebut.
Para ulama, hukama dan orang-orang zahid berulang-ulang menasihati mereka, namun mereka tetap sahaja melakukan pelanggaran tersebut. Sehingga ulama-ulama itu berpisah daripada kehidupan mereka kerana khuatir akan terkena bencana bersama-sama mereka yang engkar.
Ketika Allah hendak menyeksa mereka, Allah biarkan mereka berbuat sesuka hati mereka selama dua tahun. Di samping itu Allah tetap mengutus kepada mereka orang-orang yang akan memberikan peringatan dan nasihat. Namun mereka tetap berdegil dan tidak mahu menerima peringatan dan nasihat.
Akhirnya, pada suatu hari para ulama, hukama dan orang-orang zahid itu memasuki kota tersebut, mereka tidak berjumpa dengan seorang pun. Kemudian mereka membuka pintu-pintu rumah dan masuk ke dalamnya, tiba-tiba mereka melihat lelaki dan perempuan telah berubah menjadi kera-kera atau monyet.
Allah SWT berfirman bermaksud: “Maka Tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang-orang yang zalim dengan seksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, kami katakan kepadanya “Jadilah kamu kera yang hina.” (Al-A’raf: 165-166)
Allah telah menceritakan kisah ini kepada kekasihnya Muhammad SAW:
1. Firman Allah SWT bermaksud: “Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu.”(An-Nahl: 124)
2. Firman Allah SWT bermaksud: “Dan sesungguhnya kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina.”(Al-Baqarah: 65)
3. Firman Allah SWT bermaksud: “Dan telah Kami angkat ke (atas) kepala mereka bukit Thursina untuk menerima perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka dan Kami perintahkan kepada mereka: “Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud.” Dan Kami perintahkan pula kepada mereka “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu, dan Kami mengambil dari mereka perjanjian yang kukuh.” (An-Nisa’: 154)
4. Firman Allah SWT bermaksud: “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, diwaktu datang kepada mereka ikan-ikan yang berada di sekitar mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencuba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raaf: 163)
Maha Suci Allah Zat yang perbuatan-Nya tidak sama dengan perbuatan makhluk. Tidak mengetahui hikmat yang terkandung di dalamnya melainkan mereka yang mempunyai hati yang bersih dan terbuka. Demikianlah seekor ikan yang diambil oleh orang Yahudi telah menjadikan mereka kera-kera yang hina. Dan seekor ikan yang diambil oleh nabi, menjadi raja segala ikan. Iblis yang asal kiblatnya adalah Arsy akhirnya menjadi terhina, sedangkan Umar bin Khattab yang asal kiblatnya adalah berhala menjadi orang yang dicintai dan disenangi.
Tentang makna hari Sabtu ini ada beberapa pendapat. Sebahagian ulama mengatakan bahawa Sabtu itu ertinya ‘Agung’ sebab hari Sabtu itu diagung-agungkan oleh orang-orang Yahudi. Ulama yang lain mengatakan bahawa Sabtu itu ertinya istirehat, kerana orang-orang Yahudi pada hari Sabtu itu beristirehat daripada urusan duniawi.
Dikisahkan bahawa ketika ditanyakan kepada orang-orang Yahudi: “Apakah sebabnya kamu semua tidak bekerja dengan urusan duniawi pada hari Sabtu? Mereka beberapa orang Yahudi datang menghadap Rasulullah SAW, mereka bertanya: Ya Muhammad, ceritakanlah ke pada kami apa yang telah diciptakan Allah pada hari-hari dalam seminggu?”
Rasulullah SAW menjawab: “Pada hari Ahad, Allah menciptakan langit dan bumi. Pada hari Isnin, Allah menciptakan gunung-ganang. Pada hari Selasa Allah menciptakan bintang. Pada hari Rabu Allah menciptakan cahaya. Pada hari Khamis Allah menciptakan Syurga dan neraka. Dan pada hari Jumaat, Allah menciptakan Adam dan Hawa. Orang Yahudi itu berkata: Baginda benar, apabila baginda sempurnakan jawapan tersebut.”
Rasulullah bertanya: “Apakah kesempurnaannya itu? Mereka menjawab: Ketika Allah telah menyempurnakan penciptaan langit dan bumi, maka Ia duduk bersandar dengan menyilangkan kedua belah kaki-Nya dan beristirehat, dan itu terjadi pada hari Sabtu. Itulah sebabnya kami jadikan hari Sabtu itu sebagai hari raya kami dan kami berehat pada hari itu.”
Mendengar perkataan Yahudi itu Rasulullah sangat kecewa. Maka Allah SWT menurunkan wahyu yang bermaksud: “Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan” ( Qaaf: 38 )
Keletihan itu hanya menimpa kepada orang-orang yang bekerja dengan menggunakan anggota badan. Sedang Allah SWT menciptakan sesuatu itu hanya dengan ucapan, maka akan jadilah segala apa yang dikehendaki-Nya.
Firman Allah SWT bermaksud: “Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (Al-Qamar: 50)
Firman Allah SWT bermaksud: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya “kun (jadilah),” maka jadilah ia.” (An-Nahl: 40) Sesungguhnya orang-orang Yahudi telah melanggar perintah Allah pada hari yang ditetapkan, maka Allah merubah wajah mereka. Bagi orang-orang Mukmin telah berbuat taat kepada Allah dan menunaikan solat Jumaat, maka Allah merubah dosa-dosa mereka menjadi kebaikan. Firman Allah SWT ertinya: “Maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Furqan: 70) Allah tidaklah merubah rupa seorang Yahudi itu kerana mereka menangkap ikan, namun mereka dirubahkan kerana mereka telah meremehkan perintah Allah SWT, dan mengerjakan larangan-Nya.
Dalam sebuah hikayat dikisahkan, bahawa seorang yang terkenal kefasikan dan kejahatannya, suka minum arak dan membuat kemaksiatan yang lainnya, pemuda tersebut bernama Utbah Al-Ghulam. Pada suatu hari ia mengikuti majlis pengajian Hasan Al-Basyri. Di situ ia mendengar salah seorang qari membaca ayat Al-Quran: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16) Kemudian Syeikh menafsirkan ayat tersebut, dan membahasnya dengan penyampaian yang baik sehingga sangat berkesan di hati pendengarnya. Orang-orang yang hadir di situ mencucurkan air matanya kerana merasa terharu.
Seorang pemuda bangun di antara mereka dan berkata: “Wahai imam, apakah Allah SWT akan menerima taubat orang yang durhaka seperti saya? Syeikh itu menjawab: Ya, Allah akan menerima taubatmu, sekalipun kejahatanmu itu seperti Utbah Al-Ghulam.”
Ketika Utbah mendengar perkataan Syeikh tersebut, maka wajahnya berubah menjadi pucat, dan menggigil seluruh tubuhnya, lalu ia memekik dengan kerasnya sehingga ia tidak sedarkan diri.
Setelah ia sedar kembali, maka ia menghampiri Syeikh tersebut dan duduk di dekatnya, lalu Syeikh tersebut melafazkan sebuah Syair: “Wahai pemuda yang telah mendurhaka kepada Tuhan Arsy Tahukah engkau apa balasan bagi penderhaka?
Neraka Sairlah bagi mereka, tempat kebinasaan
Celakalah mereka di hari rambut diikat.
Jika engkau sabar di neraka, maka bermaksiatlah
Jika tidak, jauhilah maksiat itu,
Dah dosa yang telah engkau lakukan
engkau telah menghina diri sendiri
Maka berusahalah untuk membebaskannya.” Mendengar syair tersebut, maka Utbah memekik sekali lagi, sehingga ia tidak sedarkan diri. Setelah sedar ia berkata: “Wahai Syeikh, apakah Tuhan akan menerima taubat daripada orang seperti aku? Syeikh menjawab: Siapa lagi yang akan menerima taubat seorang hamba yang berdosa, selain Tuhan yang Kuasa.”
Kemudian Utbah mengangkatkan kepalanya dan berdoa, dengan tiga doa yang masyhur:
1. “Ya Allah, seandainya Engkau terima taubatku, dan Engkau ampuni dosa-dosaku, maka kurniailah aku dengan pemahaman dan kuat dalam hafalan, sehingga nantinya aku dapat mengingat semua ilmu dan ayat-ayat Al-Quran yang-Ku dengar.”
2. “Ya Allah, kurniakanlah kepadaku dengan suara yang baik dan merdu, sehingga setiap orang yang mendengarkannya akan bertambah lembut hatinya, sekalipun ia berhati keras.”
3. “Ya Allah, kurniakanlah untukku rezeki yang halal dari jalan yang tak diduga.”
Maka Allah mengabulkan segala permintannya itu, sehingga bertambah kuat pemahaman dan hafalannya. Jika ia membaca ayat-ayat Al-Quran maka orang-orang yang mendengarkannya menjadi lembut hatinya dan akhirnya bertaubat dan kembali kepada kebenaran. Begitu juga rezekinya yang sentiasa diberikan oleh Allah SWT.
SEJARAH SINGKAT IMAM MUSLIM
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8.) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.